Seorang
ibu merasa kewalahan menghadapi puteranya yang berusia 9 tahun yang
suka berbohong. Sang anak sering sekali berbohong bahkan untuk hal-hal
kecil sekalipun. Ia berbohong tentang nilai ulangan hariannya, ia
berbohong tentang siapa yang memecahkan pot bunga saat bermain bola, ia
berbohong saat hendak pamit les, dan lain sebagainya. Sang ibu merasa
sudah mengajarkan nilai kejujuran pada anaknya, bahkan sering
memarahinya jika ketahuan bohong, tapi tidak nampak tanda-tanda anak ini
mau berubah. Lalu, harus bagaimana?
Tidak diragukan lagi bahwa
berbohong adalah sebuah perilaku tercela yang bisa menjadi kebiasaan
apabila tidak ditangani sedini mungkin. Para pendidik, khususnya orang
tua harus mencurahkan perhatian dan melakukan upaya-upaya perbaikan dari
kebiasaan berbohong ini agar tidak menjadi kebiasan buruk yang mengakar
kuat dalam diri seorang anak.
Dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan
kebaikan menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur
hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong
itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam
neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya
sebagai seorang pembohong.” (HR. Bukhari No. 6094, Muslim No. 2607)
Anak-anak memang tidak dilahirkan dengan kode moral. Moralitas adalah
sesuatu yang dipelajari oleh seorang anak dalam tumbuh kembangnya secara
bertahap dari tahun ke tahun. Dan perilaku berbohong adalah salah satu
dari tahapan tersebut.
Dalam tumbuh kembangnya, anak-anak
belajar tentang aturan-aturan sosial. Mereka belajar bahwa dalam
kehidupan ini ada yang dinamakan khayalan, kebohongan, dan kenyataan.
Dan umumnya, perilaku berbohong ini muncul dalam diri anak ketika ia
mulai bisa bicara.
Rentang usia 4 sampai 9 tahun, anak-anak
masih banyak hidup dengan khayalan-khayalan mereka. Mereka belum bisa
membedakan yang mana khayalan dan mana kenyataan. Mereka sering
beranggapan bahwa binatang bisa bicara layaknya manusia, mereka mengira
bahwa hantu dan monster itu benar-benar ada, mereka yakin bahwa
kartun-kartun animasi itu benar-benar hidup dan menjadi teman mereka.
Dan sering kali mereka menempatkan diri mereka menjadi bagian dari
khayalan tersebut.
Setelah usia 9 tahun, anak-anak mulai
memahami aturan “tidak boleh berbohong”. Mereka mulai memahami bahwa
sesuatu yang bukan sebenarnya itu berarti berbohong. Namun mereka masih
memilah dan memilih, atau mempertimbangkan kapan mereka bisa berbohong
atau tidak. Dalam artian, mereka belum benar-benar faham bahwa berbohong
itu tercela. Karena ada kebutuhan lain yang lebih penting bagi mereka,
yaitu kebutuhan untuk diterima dengan baik oleh suatu kelompok sosial
tertentu.
Alasan Mengapa Anak Berbohong
Berikut ini ada beberapa alasan mengapa anak-anak berbohong :
1. Contoh yang salah dari orang tua
Anak-anak adalah peniru yang sangat baik. Mereka meniru segala hal yang
dilakukan oleh orang tua atau orang-orang dewasa di sekitarnya,
termasuk berbohong.
Ya, anak-anak belajar berbohong pertama
kali dari orang tuanya. Disadari atau tidak, orang tua seringkali
memberikan contoh yang salah dalam perilaku berbohong ini, sehingga
anak-anak menirunya di kemudian hari.
Contoh kecil, saat
seorang ibu ingin mengalihkan perhatian anakknya atau menghentikan
tangis anaknya, ibu itu berkata, “Eh, lihat itu ada cicak!” atau “Eh,
lihat ada pesawat terbang!”. Padahal sesungguhnya tidak ada cicak atau
pesawat terbang disana.
Contoh lagi, saat ada tamu atau telpon,
sedangkan ibu atau ayah sedang menghindari orang yang bertamu atau
telpon tersebut, ibu akan mengatakan, “Bilang saja ibu nggak ada di
rumah…”. Padahal ibu jelas-jelas ada di rumah.
Atau, saat
hendak mengajarkan anak berpisah dari orang tua saat di sekolah, ibu
berjanji pada anaknya yang belum mau ditinggal untuk menunggu di luar
kelas. Tapi, ternyata setelah anak masuk, sang ibu pergi untuk pulang
hingga datang kembali untuk menjemput sang anak.
Kita sebagai
orang tua ada role model utama bagi anak-anak kita. Karena kitalah yang
paling sering berada di dekat mereka. Jadi kita harus berhati-hati
tentang masalah berbohong ini. Jika kita sering berbohong, maka jangan
salahkan anak bila kelak mereka ikut berbohong. Namun, bila kita
membiasakan anak untuk jujur sejak kecil, maka insyaallah anak-anak pun
akan menjadi anak yang jujur dan mudah untuk diarahkan.
2. Anak terlalu sering dikritik, tetapi jarang diberi pujian
Sering kali kita terburu-buru mengecap anak kita berbohong,
mencurigainya, mengkritiknya, padahal anak berkata jujur. Dan kita akan
langsung memberikan label “pembohong” ketika anak pernah sekali
berbohong pada kita. Sehingga pada akhirnya, anak pun mengambil
kesimpulan bahwa “bohong atau jujur sama saja, ibu akan tetap bilang aku
ini pembohong”.
Dan kita juga lebih sering mengeluarkan
kalimat-kalimat negatif pada anak, alih-alih memberinya semangat dan
dorongan untuk selalu berbuat baik. Kita lebih sering mengeluarkan
kata-kata yang menyakitkan anak, mengecilkan hati anak, memberikan
julukan yang negatif, dan lain sebagainya sebagai bentuk dari “kekerasan
verbal” terhadap seorang anak.
Contohnya, kita masih sering
terpatok pada “hasil akhir” dan bukannya “usaha” dari seorang anak. Kita
akan mengkritik, “Hitungan mudah begini saja kamu nggak bisa” atau
“sudah sering kamu diajari wudhu tapi masih saja nggak bisa wudhu yang
benar!” dan yang semisal dengan itu.
Anak-anak yang terlalu
sering mendapatkan kritikan dari orang tuanya, akhirnya menjadi haus
pujian. Mereka akan melakukan segala cara untuk membuat orang tuanya mau
memujinya. Salah satunya adalah berbohong. Dengan berbohong, mereka
beranggapan bahwa mereka bisa menyelamatkan diri dari “omelan ibu” dan
akan mendapatkan “pujian ibu”.
3. Bentuk pengalihan perhatian atau menghindari hukuman
Suatu ketika, saya pernah menegur keras putri saya yang baru berusia 3
tahun karena suatu hal. Saat saya memarahinya, putri saya tiba-tiba
mengatakan pada saya, “Bunda, sakit perut…”. Dan akhirnya saya pun tidak
marah lagi dan kemudian menyuruhnya untuk segera ke kamar mandi.
Rupanya, putri saya ini merekam kejadian hari itu. Mungkin dalam
benaknya, kalau bunda marah-marah aku bilang sakit perut, bunda jadi
nggak marah. Dan esok harinya, saat saya menegurnya lagi karena hal yang
lain, ia pun mengatakan hal yang sama, “Bunda, sakit perut…” padahal
ternyata tidak keluar. Dan itu terjadi beberapa kali, sampai kemudian
saya baru sadar bahwa “sakit perut” adalah alasan untuknya mengalihkan
perhatian saya agar saya tidak marah-marah lagi.
Anak-anak yang
masih kecil biasanya cenderung “tidak sengaja” berbohong. Dalam artian,
mereka belum bisa memprediksi sebab-akibat. Jika kita menganggap jelas
bahwa anak bermain bola dan memecahkan vas adalah suatu kesalahan, maka
anak-anak tidak bisa berpikir demikian. Mereka hanya berpikir, “Aku main
bola, dan aku ngga mecahin vas ibu. Bola yang mecahin vas ibu”. Dan
itulah yang akan mereka katakan.
Anak-anak juga berbohong
dengan menyalahkan orang lain atau hal lain untuk menyelamatkan diri
dari hukuman. Contohnya, mereka menyalahkan kucing untuk pot bunga yang
pecah saat mereka bermain di halaman, atau membuat alasan “kue ini buat
kucing” saat ia kedapatan mengambil kue tanpa izin, dan lain sebagainya.
4. Ingin diterima oleh lingkungan dan teman-temannya
Pada anak-anak yang sudah lebih besar atau remaja, umumnya mereka
berbohong untuk meningkatkan rasa percaya diri dan status sosialnya.
Misalnya, mereka berbohong soal kekayaan keluarga, atau bersahabat
dengan orang terkenal, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah mereka
ingin diterima oleh suatu komunitas sosial tertentu di kalangan
teman-temannya. Mereka juga ingin dianggap “hebat” atau “keren” dan
segala hal yang berbau pamor di kalangan para remaja. Terkadang, hal
yang dimikian juga disebabkan karena anak pernah mendapatkan perlakuan
yang tidak baik dari teman-temannya, seperti dipermalukan atau
diremehkan.
Kebohongan lain adalah bohong terhadap orang tua
agar orang tua mau menerima teman-teman sepermainannya. Mereka biasanya
berbohong dengan mengendalikan informasi, seperti memberikan alasan
belajar bersama di rumah teman, padahal mereka pergi main ke mall atau
ke tempat persewaan PS, dan lain sebagainya.
Mendidik Anak Agar Tidak Bohong
Setiap orang tua tentunya merasa sedih dan kecewa bila melihat dan
mendengar anaknya berbohong. Dan tidak jarang kita langsung merasa panik
dan buru-buru men-judge anak “kamu bohong” atau “kamu pembohong”.
Yang harus kita lakukan adalah memahami perilaku tersebut sebagai
tahapan perkembangan anak dan mencari solusinya agar tidak menjadi
kebiasan di kemudian hari.
● Keteladanan dari orang tua
Menanamkan sikap jujur dan tidak suka berbohong adalah tugas orang tua
dan pendidik. Namun, tentu saja tidak bisa hanya sekedar teori,
melainkan dengan keteladanan. Berusahalah untuk bersikap jujur dalam
perkataan dan perbuatan. Karena anak-anak melihat dan mencontoh apa yang
mereka lihat dan mereka dengar.
Jika kita ingin mengalihkan
perhatian anak dari tangisnya, alih-alih kita mengatakan “lihat itu ada
cicak!” kita bisa menggantinya dengan kalimat ajakan, “yuk, kita cari
cicak,” sambil mengajaknya keluar.
Orang tua juga tidak boleh
berpura-pura akan memberikan sesuatu pada anak jika anak menurut.
Misalnya, kita bilang, “ayo nurut sama ummi, nanti ummi belikan mainan”
atau yang semisal dengan itu. Padahal itu hanya untuk memancingnya saja
tanpa benar-benar akan memberikannya mainan bila ia sudah menurut.
● Menanamkan kejujuran sejak dini
Sesungguhnya kejujuran itu sederhana, tapi sulit untuk dilakukan.
Semakin dewasa usia seseorang, akan semakin sulit dan makin banyak
godaannya untuk berbuat jujur. Padahal, kejujuran adalah salah satu
kecerdasan moral. Dan untuk melatih kecerdasan moral seperti ini jauh
lebih sulit dari pada melatih kecerdasan intelegensi.
Para
psikolog dan pakar pendidikan anak banyak menilai bahwa orang tua masa
kini jauh lebih bisa mencerdaskan intelegensi anak dari pada
mencerdaskan moral anak. Bukan berarti terjadi kemerosotan moral di
sini, melainkan orang tua merasa tidak percaya diri dalam menanamkan
nilai-nilai moral pada anak. Sehingga kemudian, orang tua pun
menyerahkan tugas tersebut pada sekolah atau guru anak-anak mereka.
Padahal, sejatinya pendidikan moral adalah hal yang juga harus diberikan
oleh orang tua, bersama dengan pendidikan agama.
● Hindari memberi hukuman yang terlalu berat pada anak
Jika kita ingin memberikan anak hukuman karena kesalahannya, maka
hukumlah dengan “adil”. Dalam artian, tidak setiap kesalahan anak harus
mendapatkan hukuman yang berat. Lihat dan pertimbangkan seberapa berat
kesalahan anak dan hukuman apa yang paling tepat untuknya.
Misalnya, anak menumpahkan air. Ini adalah perkara yang sepele
sebenarnya. Bisa jadi anak tidak sengaja melakukannya. Maka berikan ia
konsekuensi, untuk mengambil lap dan mengeringkan airnya dengan bantuan
Anda.
Atau misalnya, anak tidak menabungkan uangnya dan malah
menggunakan uang tersebut untuk membeli mobil-mobilan baru. Jangan
langsung menghukumnya dengan memukul atau mengomelinya sepanjang hari.
Tapi, nasehati anak dengan baik dan minta ia untuk tidak mengulanginya.
Konsekuensinya, anak belajar untuk menabungkan sebagian uang jajannya
sebagai ganti dari uang tabungan yang telah ia pakai kemarin.
Hukuman yang terlalu berat dan sering dapat menimbulkan rasa takut pada anak yang dapat mendorong anak untuk berbohong.
● Hargai setiap usaha yang dilakukan anak
Sudah kodratnya anak-anak itu butuh pujian dari orang tuanya. Mereka
butuh penghargaan dari setiap usaha baik yang mereka lakukan. Selaras
dengan “teguran” yang mereka dapatkan ketika mereka melakukan kesalahan.
Tentunya anak-anak akan bertanya-tanya, kalau aku salah aku selalu
dimarahi, tapi kalau aku jadi anak baik, ibu dan ayah biasa saja.
Seorang anak lama-kelamaan akan merasa frustrasi dan jenuh ketika
setiap usaha yang ia lakukan ia hanya mendapatkan kritikan pedas dari
orang tuanya. Mereka akan merasa gagal, ditolak, tidak mampu, tidak
percaya diri, dan rendah diri. Lebih-lebih jika orang tuanya
membanding-bandingkan dirinya dengan saudaranya atau anak orang lain.
Rasa frustrasi dan jenuh itulah yang juga bisa mendorong seorang anak
untuk berbohong demi pengakuan.
Jika si kecil melakukan
sesuatu, bahkan jika hasilnya kurang memuaskan, cobalah untuk
mengatakan, “wah…subhanallah…kakak sudah pintar ya. Nanti kita buat lagi
yang bagus supaya kakak bisa semangat lagi ya!”.
Penghargaan yang diterima oleh seorang anak anak menumbuhkan sikap menghargai orang lain di kemudian hari.
● Hindari dan jauhkan anak dari tontonan atau cerita-cerita bohong
Sering memperdengarkan cerita-cerita bohong juga membuat anak-anak
belajar berbohong. Karena sebagian besar anak-anak belum bisa membedakan
mana yang nyata dan mana yang hanya khayalan saja.
Dari mana
anak mengenal monster dan hantu jika bukan dari buku cerita fiksi dan
film di TV? Karena itu orang tua harus benar-benar selektif dalam
memilihkan buku bacaan dan tontonan untuk anak.
Saat ini banyak
sekali buku-buku dan film-film yang isinya hanya merusak moral
anak-anak, atau memperlihatkan adegan kekerasan, kisah-kisah yang tak
masuk akal dan membuat anak-anak takut.
Jelaskan pada anak-anak
bahwa monster dan hantu itu tidak ada dan hanya rekaan manusia. Kalau
perlu, apalagi di jaman teknologi yang sudah canggih ini, kepada
anak-anak yang sudah lebih besar, kita bisa memperlihatkan bagaimana
“efek” monster dan hantu itu dibuat dengan komputer.
● Dengarkan anak saat mereka bicara
Mendengarkan keinginan anak bukan berarti harus mewujudkan setiap
keinginannya. Akan tetapi, mendengarkan di sini adalah menunjukkan
antusiasme dan perhatian kita bahwa kita menghargai apapun yang mereka
katakan.
Jika ternyata apa yang mereka katakan itu bukan hal
yang sesungguhnya terjadi atau hanya khayalan mereka, jangan buru-buru
marah atau menudingnya sebagai pembohong. Tapi, luruskanlah, agar
anak-anak memiliki pola pikir yang lurus pula.
● Berikan kepercayaan pada anak
Akan tiba masanya anak-anak harus bisa melakukan banyak hal sendiri,
tanpa bantuan dan pantauan orang tua. Apalagi ketika usia mereka
beranjak remaja, tentulah mereka tak ingin terus menerus dibayangi atau
terlalu diatur oleh orang tua.
Seiring dengan bertambahnya
usia, bertambahnya tanggungjawab, bertambah pula keinginan seorang anak
untuk dihargai sebagai seorang “anak yang sudah besar”. Mereka
menginginkan tanggungjawab yang lebih besar pula, dan menginginkan
kemandirian. Karena itu, sudah sepatutnya orang tua memberikan
kepercayaan pada anak-anaknya.
Ajarkan anak-anak bahwa setiap
perbuatan memiliki konsekuensi, dan harus dipertanggungjawabkan.
Tanamkan bahwa setiap tindakan mereka adalah cerminan bagaimana orang
tua mereka mendidik mereka. Lalu berikan mereka kepercayaan.
Sesekali waktu, anak-anak mungkin melakukan kesalahan. Namun, bantulah
mereka untuk memperbaiki kesalahan tersebut dan percayakan bahwa mereka
belajar dari kesalahan tersebut.
Dari pada mengatakan, “tuh,
kan…ternyata kamu memang nggak bisa dipercaya”, lebih baik katakan,
“oke…ummi ngerti kalau hari ini kamu salah. Sekarang kita cari
penyelesaiannya sama-sama, dan ummi harap kamu tidak mengulanginya
lagi.”
Anak-anak yang mendapatkan kepercayaan dan merasa
dipercaya, pada akhirnya akan belajar untuk menjaga kepercayaan tersebut
dan mau belajar untuk senantiasa jujur dalam perbuatan dan perkataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar