Selamat Datang

SELAMAT DATANG DI BLOGGER PENDIDIK MINGKRIK

Selasa, 16 April 2013

JANGAN PERNAH MENYESAL BERTINDAK JUJUR

Cahaya bulan menyusup remang-remang melalui celah-celah tirai jendela kamarku. Seolah ingin bersaing dengan cahaya lampu yang menerangi kamar ini.
Tapi aku duduk di depan sebuah buku harian usang yang telah setahun lamanya tak pernah terbuka. Di situlah tersimpan sebuah kenangan berharga yang tak pernah kulupakan selamanya. Dan sekarang, aku akan berbagi kisahku padamu. Semua itu dimulai ketika pertemuanku dengan seorang….
* * *
Siang ini terik matahari yang panas membakar kulit kami. Aku dan Felis melipat tangan kami di depan dada dengan raut muka kesal.
“Huh! Awas saja, nanti kalau sudah sampai di rumah, akan kupecat supir-supir tidak berguna itu! Masa anak bos dibiarkan menunggu berpanas-panasan begini sih?”, keluhku dengan mimik serius. Seluruh wajahku merah padam akibat menahan emosi.
“Iya, nih! Bisa mati gosong aku!”, imbuh Felis ketus. “Sudahlah, Sya! Lagipula mereka kan, memang orang miskin! Mereka itu enggak ngerti apa-apa dan enggak selevel dengan kita! Huh! Kampung!”, ejek Felis lagi-lagi.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap melaju cepat dari arah timur dan berhenti tepat di depan kami. Seorang lelaki paruh baya keluar dan membukakan pintu untuk kedua majikannya yang amat sangat marah dengan keterlambatan itu.
“Maaf, Non. Tadi saya disuruh….”
“Hei, orang kampung! Udah deh, nggak usah sok membela diri!”, teriakku keras. “Kamu sengaja kan, telat jemput kita? Heh? Awas kamu, ya! Nanti aku laporin sama Ayah, biar kamu dipecat!”
Laki-laki itu tampaknya sangat tertegun akan sikapku. Matanya berkaca-kaca mendengarkan kemarahanku. Begitu perih terasa hingga merasuk sampai ke sumsum tulang. Namun rasa sedih itu masih bisa ditahannya dengan seulas senyum dan kata-kata yang seharusnya tak mungkin dikatakannya pada saat seperti itu.
“Baik, Non. Saya janji tidak akan lagi telat menjemput Nona Lisya dan Nona Felisia.”
Aku dan Felis naik ke mobil dengan wajah angkuh yang menghiasi muka kami. Tanpa memperdulikan perasaan lelaki paruh baya itu yang begitu sedih.
“Ayaaaaaaaahhh!” teriakku yang langsung berlari ke pelukan Ayah begitu aku tiba di rumah.
Ayah Lisya seorang direktur di sebuah perusahaan ternama. Beliau adalah orang yang sangat baik dan sungguh mempunyai sifat yang berbanding terbalik dengan sifat putrinya. Begitu melihat kedatangan anak semata wayangnya, beliau segera menyambut dan memeluk Lisya sendiri.
“Gimana pelajaranmu tadi, Sayang?”, tanya Ayah padaku.
Aku mengangguk senang. “Asyik! Terus tadi Felis minta diantarin pulang, tapi Pak Rustaman telat jemput kita! Uuuh! Nungguinnya tuh lama banget! Dan…, lho, siapa ini?”, tanyaku dengan raut wajah tak senang ketika melihat seorang anak perempuan berbaju lusuh duduk di sofa keluarga kami. Mataku melotot sejadi-jadinya melihat seluruh tubuh anak itu yang begitu kotor dan dekil.
“Oh, itu anaknya Pak Rustaman. Namanya Dyan. Untuk sementara ini dia akan tinggal di sini bersama kita. Pak Rustaman belum mampu melunasi biaya kontrakan rumah, jadi dia menitipkan anaknya di sini. Nanti kamu ajak main dia ya, sayang?”, jawab Ayah dengan seulas senyum di wajahnya.
Akan tetapi, mendengarnya raut mukaku semakin tak karuan. Rasa marah memenuhi dadaku yang sesak ini. Rasa benci itu berbaur dengan semua perasaan kesalku. Aku mendekati Dyan dengan muka merah.
“Hei, anak kampung!! Kamu itu tidak pantas tinggal di sini! Kamu pikir kamu siapa bisa tinggal di sini? Kamu itu pantasnya tinggal di tempat sampah! Pergi sana! Jangan sampai aku melihat kamu ada di rumahku,” bentakku kasar padanya.
Dyan begitu terkejut mendengar bentakanku. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Ayah juga tampak terkejut mendengarnya.
“Lisya! Kamu tidak boleh begitu sama Dyan, sayang! Semiskin apapun dia, kamu harus ingat bahwa derajat setiap manusia itu sama. Kita juga seharusnya menolong orang tanpa pandang status. Kita harus ikhlas, Lisya! Ayo minta maaf pada Dyan!”, tegur Ayah.
Aku begitu sakit hati mendengarnya. Belum pernah selama ini aku dimarahi Ayah. Memang selama ini Ayah tidak pernah menegurku setiap aku melakukan kesalahan. Dan sekarang? Aku begitu tersentak
mendengarnya! Kata-kata itu bagaikan halilintar di telingaku.
“Aaaaaarrrrrrrrrggggghhh!!!! AKU BENCI AYAH! AYAH LEBIH SAYANG DYAN DARIPADA AKU!”, teriakku marah sambil berlari ke kamar dengan mata berkaca-kaca.
Aku menutup pintu kamarku dengan keras dan menangis berjam-jam lamanya. Ayah sudah mencoba membujukku keluar, tapi aku menolak semua yang diberikan padaku dengan kasar.
* * *
Dua bulan berlalu.
Sudah dua bulan akhirnya Dyan tinggal di rumah kami. Sebenarnya selama satu bulan terakhir Pak Rustaman sudah meminta anaknya dikembalikan karena takut merepotkan. Meski ia belum mendapat kontrakan rumah hingga saat ini. Tapi ayah menolak dan tetap akan memenuhi janjinya, yaitu akan terus merawat Dyan sampai Pak Rustaman mendapat kontrakan rumah.
Sementara aku, semakin hari kebencianku pada Dyan semakin bertambah. Ayah yang semakin perhatian pada Dyan, walaupun tetap membagi perhatiannya padaku, selalu semakin menambah rasa benciku pada Dyan.
Dyan mempunyai hobi menabung. Katanya kalau uangnya sudah banyak, dia mau bersekolah di luar negeri. Ayahpun mendukung impiannya itu. Demi mendapat uang yang banyak, kadang-kadang Dyan suka bekerja keras untuk menambah uangnya.
Namun pada suatu hari, Dyan kehilangan celengannya. Bertepatan pada hari itu juga, aku kehilangan sebuah gelang peninggalan ibuku yang sangat berharga.
Ketika aku menyadari gelang itu telah hilang, tanpa pikir panjang aku langsung menuduh Dyan sebagai dalang dari pencurian gelangku.
“Dyan! Kamu yang ambil gelangku, ya?”, gertakku marah.
Dyan terkejut mendengar bentakanku. “Tidak! Sungguh, bukan aku yang mengambil gelangmu, Sya!”
Aku melotot lebar mendengarnya. “Heh! Kamu nggak usah beralasan! Aku sudah tahu kamu memang niat mencurinya! Kamu kan sedang kehilangan tabunganmu, makanya kamu mencuri gelangku sebagai gantinya! Iya, kan?”, tuduhku.
“Tidak, Sya! Serius, aku tidak mengambil.”
“Huh! Mana ada pencuri mau ngaku! Sudah, kembalikan gelangku sekarang juga! Itu terbuat dari emas, tahu? Mahal! Awas ya, kalau tidak kamu kembalikan, nanti aku laporkan kamu ke polisi!”, ancamku.
Mendengarnya sedikit demi sedikit air mata Dyan menetes. Sungguh bukan aku yang ambil gelangmu, Sya! Percayalah padaku. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa tiba-tiba gelangmu bisa hilang. Ya Tuhan…, tolonglah hambamu ini. Berikanlah aku kesabaran untuk menghadapi ini semua…,batin Dyan dalam hati.
Aku berlalu dari hadapan Dyan dengan muka angkuh yang lagi-lagi disertai raut wajah kesal dan benci. Sambil mengomel aku terus saja melontarkan berbagai ejekan dan makian kepada Dyan yang kutinggalkan sendirian. Dyan menangis sendirian di sana, dan tidak ada yang menghiburnya. Namun dengan tabah, Dyan masih saja mencoba bersabar.
* * *
Tiga hari tepat setelah gelangku menghilang. Pada suatu sore ketika Dyan hendak merapikan gudang, tiba-tiba tampak pantulan cahaya keemasan dari salah satu celah di tumpukan kardus-kardus. Dyan yang melihatnya merasa curiga. Disibaknya tumpukan kardu-kardus itu. Betapa terkejutnya Dyan! Ternyata ia menemukan gelang emas milik Lisya!
Dyan mengambil gelang itu dan berencana untuk mengembalikannya kepada Lisya. Namun sebelum niat itu terlaksana, Lisya sudah keburu masuk dengan Ayahnya. Tentu saja mereka terkejut melihat gelang emas yang telah lama dicarinya itu, kini dipegang Dyan.
“Gelangku!” jeritku tak percaya. “Sudah kubilang! Dyan pasti mencurinya!”, teriakku marah.
Aku terus meyakinkan ayah pada pendapatku. Namun Ayah mengambil keputusan untuk mendengarkan penjelasan dari Dyan dulu.
“Sudahlah Ayah, itu tak perlu penjelasan!”, bantahku.
“Jangan begitu, Lisya! Kita dengarkan dulu penjelasan Dyan!”, kata Ayah mencoba bijaksana.
Dyan pun mulai menjelaskan bagaimana ia menemukan gelang itu. Namun aku terus menyangkalnya dengan berkata bahwa aku tidak pernah masuk ke gudang.
“Tapi sehari sebelum kamu kehilangan gelang itu, aku melihat kamu masuk ke sini untuk mencari bahan-bahan kerja kelompokmu! Coba kamu ingat-ingat lagi, Sya!”, bantah Dyan membela diri.
Akupun mencoba mengingat-ingat. Oh iya! Rasanya pernah, deh. Aku sangat malu dan mencoba menyembunyikan rasa maluku. Namun Ayah sepertinya tahu akan perasaanku.
“Sudahlah, Lisya, kalau salah akui saja salah. Sudah, ayo kamu berbaikan dengan Dyan.”
Aku pun akhirnya berbaikan dengan Dyan dan mengakui semua kesalahanku padanya. Untunglah Dyan sangat baik. Ia begitu pemaaf sehingga mau memaafkanku.
“Dyan, maafkan aku, ya. Ternyata kamu sangat baik. Aku kira kamu ingin memiliki gelang ini untuk keuntungan pribadi. Ternyata tidak. Terima kasih kamu sudah mau jujur mengembalikan gelangku. Untung saja tidak kamu ambil. Aku bersyukur sekali,” kataku sambil menjabat tangan Dyan.
Dyan menyambut uluran tanganku dengan sebuah senyum. “Iya, aku maafkan kok, Sya. Lagi pula sejak awal aku sudah yakin kalau sebenarnya kamu itu baik.”
Kamipun saling berangkulan. Ayah yang melihatnya pun ikut tersenyum bahagia.
Ah, betapa lega. Mengapa sejak awal aku tak pernah merasa sebahagia ini? Mengapa baru sekarang? Ternyata berteman tanpa memandang derajat seseorang, itu sangat membahagiakan. Persahabatan tulus yang terasa lengkap.
Ah, betapa senangnya akhirnya aku bisa tersenyum bebas dari muka angkuhku. Betapa senangnya karena aku telah menemukan sahabat sejati. Sahabat yang begitu baik dan jujur terhadapku. Sekali lagi, aku benar-benar merasa bersyukur kini memiliki sahabat sebaik Dyan.
* * *
Aku memandang pesawat Dyan yang sudah mulai terbang mengangkasa. Sulit memang, namun walau bagaimanapun aku harus bisa menerimanya.
Dyan sahabatku. Aku baru tahu. Rupanya sehari setelah berbaikan denganku, dan aku merasakan kebahagiaan, mereka harus pindah. Aku mendengar Pak Rustaman mendapat pekerjaan baru, dan juga kontrak rumah di Kalimantan. Oleh karena itu, Dyan akan ikut pindah rumah bersama ayahnya.
Betapa sedihnya aku mendengar kabar buruk itu. Namun sebelumnya Dyan berpesan agar aku menghantarnya dengan senyuman. Karena Dyan akan sedih bila ia melihatku menangis kerena kepergiannya.
Oleh karena itulah aku mencoba untuk tegar menghadapi kepergiannya. Menghantarnya dengan senyum meski hatiku kelabu.
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya mengguyur tanah. Aku dan Ayah segera mencari tempat berteduh. Kami berteduh di sebuah pohon rindang. Ayah mendekatiku dengan senyum di wajahnya. Sungguh berbeda dengan wajahku yang penuh dengan penyesalan.
“Lisya, hidup ini penuh dengan pertemuan dan perpisahan. Ada kalanya juga suka dan duka kita hadapi. Tapi semua itu harus kita terima dengan kerelaan. Karena dengan begitu tidak akan memberatkan hati orang lain dan juga kita. Kamu harus bisa menerimanya. Lagipula kamu kan masih bisa berbicara dengan Dyan pakai telepon atau surat! Dan lagi, kamu ingat pesan Dyan, kan?”, ucap Ayah.
Aku merasa sedikit terhibur mendengarnya. Pelan-pelan aku mulai menyadari makna nasehat Ayah. Dan pelan-pelan senyumku mulai menggembang di wajah ceriaku.
“Ayah benar. Aku tidak boleh sedih! Lagipula aku kan masih bisa bertemu Dyan kapan-kapan. Baiklah, kepergian Dyan akan kurelakan. Toh suatu saat kami pasti akan bertemu lagi,” ujarku dengan senyum ceria.
Ayah memandangku bangga. Bersamaan itulah hujan reda bergantikan pelangi riang yang menghiasi langit. Aku berjalan ke tengah lapangan dan memandang pelangi. Kali ini dengan sebuah senyuman. Ya! Senyuman dari hati yang bahagia!
Selamat jalan, Dyan. Semoga kamu bahagia di sana. Suatu saat aku yakin kita akan bertemu lagi. Tuhan pasti mendengar doaku. 
                                                                By :Michelle Alexandra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar